...Ketika cinta datang, aku mencatat setiap nyaman yang kurasakan, bersamaan dengan degub ketakutan akan kehilangan, tapi dengan sedikit keberanian, akhirnya kuputuskan untuk meresapi setiap sudutnya, perlahan dan menatapnya lekat ketika dia mendekat....

Tegar membuka pintu kamarnya, menaruh lipatan sajadah dan kopiah di ujung tempat tidur lalu terduduk di kursi kayu yang menghadap ke jendela yang sedari tadi dibukanya lebar-lebar. Hawa dingin yang berkejaran masuk tak dihiraukannya, Tegar hanya ingin menatap puncak lawu yang subuh ini tertutup kabut.
Setengah jam sudah, Tegar hanya duduk bengong, sampai  suara ibunya membuyarkan kepingan-kepingan lamunan di kepalanya.

“Sarapan sana, hari ini katanya mau mulai tandur, jangan sampai telat, ndak enak sama pak Kusno”
Tegar mengayunkan langkah kakinya ke sawah di lereng gunung yang bertingkat-tingkat, hatinya seperti mengambang tak keruan, hari ini kang Parto tidak masuk, artinya hanya dia sendirian yang berada di ladang.
Dan lebih jauh lagi, nanti siang, hanya dia saja yang menemui Kinanthi, anak pak Karso, yang akan mengantarkan makan siang. Entah apa yang dirasakan pemuda lugu itu, antara kesenangan, penasaran yang menghentak-hentak, berselang-seling dengan rasa takut dan kekhawatiran yang tidak jelas juntrungannya.

Kinanthi, gadis kecil temannya bermain yang tiba-tiba telah menjelma menjadi perempuan dewasa, beberapa hari yang lalu, Kinanthi datang setelah selama ini tinggal bersama neneknya di desa yang jauh.

Kinanthi yang masih memiliki mata bulat yang menawan, dengan bulu mata lentik dan akan terlihat indah ketika dilihatnya mengatup saat dia mengerjapkan kedua matanya. Dan Tegar, tidak akan mampu untuk memandangnya lama-lama, karena di dadanya semakin bergemuruh ketika mata mereka tanpa sengaja bertemu.

Tegar yang selalu bisa menyelesaikan pekerjaan apapun yang dibebankan kepadanya, Tegar yang mampu menenangkan kerbau pak Karso yang tiba-tiba mogok untuk membajak sawah, mendadak menjadi lelaki tolol yang akan menumpahkan isi rantang dan mengguyur kan Parto dengan kuah sayur bening yang dihantarkan Kinanthi setiap siang menjelang.

Jika ada kang Parto, Tegar akan leluasa membaui angin yang membawa harum rambut kinanthi yang bergelombang dan dikepang dengan santun, mengumpulkan lukisan wajah kinanthi yang tersenyum simpul saat kang Parto bercanda, dan menyimpannya rapat-rapat di memorinya, karena esok pagi, itu akan sangat berguna ketika tubuhnya tidak mau diajak berkompromi saat harus melawan dinginnya lereng lawu yang semena-mena.
Hari semakin siang, mataharipun meninggi dan membuat hawa dingin segera menepi.

Tegar pasrah, entah apalagi kini yang bergolak di dadanya, tadi sewaktu dhuhur di dangau, hanya satu yang dipintanya
“Tuhan, tolonglah” cukup itu saja.
Mereka berdua masih bersama dalam diam, hanya gemerisik suara atap rumbia yang saling bergesek meningkahi kepakan-kepakan belibis yang  sedang berasyik masyuk. Dan Tegar menangkap senyum itu lagi, senyum yang membuat dia tak bisa tidur namun juga nyenyak saat sudah terlelap.
“Kang..” Tegar tercekat sesaat, di tengah-tengah makannya, baru pertama kali Kinan memanggilnya, sungguh sesaat rasanya jantungnya berhenti memompa darah ke seluruh tubuhnya.
“Anu…tadi bapak pesen, katanya kang tegar disuruh ke rumah ngambil pupuk kompos yang dianter pak RT, habis makan siang”
“Oh..iya nanti saya kesana, kamu mau langsung pulang?”

Kinanthi mengangguk, “Bareng saja ya, sekalian saya ke rumah”

Itu saja, dan kediaman Kinanthi, serta semburat merah yang tiba-tiba muncul di kedua pipinya yang ranum sudah cukup sebagai balasan keberanian Tegar untuk mengajaknya, tidak perlu terlalu rumit, tidak perlu terlalu berliku-liku selayaknya cerita drama-drama di televisi yang ditontonnya. Bukan tentang rayuan yang mengharu biru, bukan tentang janji yang membuat angan sang perempuan merasa di awang-awang, tapi tentang pupuk yang mungkin berguna untuk menyuburkan benih-benih kasih yang sedang ditawarkan Tegar untuk disemai di hamparan hati Kinanthi.

Di pematang sawah yang dibatasi oleh tanaman kacang yang menjulur-julur, dengan kaki yang tanpa alas, sesekali ada capung yang tiba-tiba kehilangan navigasi dan menubrukkan diri ke caping yang dipakai Tegar. Mereka beriringan, menikmati percakapan cinta yang tak perlu menggunakan kata, menikmati kebersamaan yang diselimuti keheningan yang sarat makna.
Dan saat kedua tangan tegar yang terulur bersambut dengan lembut jemari Kinanthi, di akhir pematang sawah yang menurun, Tegar tahu inilah jawaban Tuhan dari doanya tadi siang.
Matahari tiba-tiba bersembunyi malu di balik selarik awan yang muncul.


*cerita ini muncul tiba-tiba saat saya sedang menikmati dan tak henti-hentinya kagum dengan lagu-nya Sheila On 7 yang cathcy dan mengoda..welcome back boys :D*

 

Comments (0)