Serius bener ya judulnya
Ndak apa deh, biar sekali-kali blog abal-abal saya ini ada juga judul yang agak bikin hati gemetaran gitu ... seperti kaki kesemutan.
Jumat minggu yang lewat, saya pulang kantor jam 5 tepat, selain memang ada acara dengan beberapa orang teman, juga karena badan saya berasa greges-greges ndak tau kenapa, atau mungkin karena lapar, karena memang biasanya begitu bhihihi.

Akhirnya, ketika angkot jurusan pasar minggu datang, naiklah saya dengan tidak percuma. Di dalam angkot hanya ada 3 orang, satu bapak-bapak yang terkantuk-kantuk di pojok belakang sebelah kanan, satu mbak-mbak yang sedang sibuk bermain BB Torch merah keluaran terbaru dan satu lagi ibu-ibu yang sedang memandang lurus kedepan disamping pak Supir yang sedang bekerja.
Jakarta sore itu mendung menggelayut, angin sepoi-sepoi yang bertiup sedikit kencang dari sela-sela kaca jendela yang terbuka menerbangkan anak-anak rambut si mbak disebelah saya yang sedang sibuk memencet-mencet tuts handphone. 
Tak berapa lama, naiklah dua orang laki-laki berbeda umur dan penampilan, seorang masih berumur belasan (menurut perkiraan saya) dan seorang lagi yaa mungkin sekitar 25 tahunan dengan penampilan yang lebih rapi, menggunakan setelan celana bahan dan kemeja lengan panjang.
Baru saja angkot berjalan beberapa meter, si remaja belasan kejang-kejang, lalu seisi angkot mendadak riuh, pak sopir menepikan angkot, dan saya serta si mbak sebelah ikutan heboh memastikan si remaja ini turun dengan selamat, dan ternyata si pemuda satunya lagi yang lebih tua juga ikutan heboh memeriksa tas kami berdua, ketika pak sopir mengingatkan kami untuk memeriksa tas, benar saja handphone saya dan si mbak tadi sudah lenyap,  


Serius, saya sampai mencari arti cuek di Wikipedia, menggunakan jasa mbah google, dan hasilnya bisa disimak disini

Okay then, kenapa tiba-tiba saya pengen ngomongin tentang cuek? Begini ceritanya *elus jenggot* *jenggotnya pak raden* *emang punya*

Saya pernah berkonflik sebut saja Z, beberapa kali, tapi pada akhirnya saya mengalah dan mengatakan pada diri saya sendiri, itu prosesnya untuk berubah, temani saja dan dukung dia. Hingga pada suatu waktu saya merasa sangat tidak nyaman dengan tindakannya, saya pun akhirnya mulai menepikan diri dan tidak berusaha lagi untuk mengikuti alur hidupnya. Entah, apakah yang saya lakukan ini salah atau benar, pernah sekali waktu saya meminta pendapat teman saya yang saya pandang lebih mumpuni baik dalam ilmu psikologi maupun agamanya, saya menceritakan walaupun tidak secara gamblang konflik yang terjadi pada saya dan si Z ini, temen saya ini mengemukakan beberapa solusi yang kebetulan sebagian besar sudah saya coba, tapi toh hasilnya nihil.

Setelah itu, saya memutuskan untuk diam dalam artian sudahlah, apapun yang dilakukannya sepanjang tidak menyinggung keberadaan saya tidak akan saya hiraukan.