Dua minggu lalu, saya mudik.
Mudik bagi perantauan macam saya, itu seperti merecharge semangat baru, menghilangkan kepenatan dengan rutinitas untuk sekedar mengikuti arus kota solo yang pelan tapi menghanyutkan, halaaaah.
Setiap kali pulang kampung dan menggunakan kereta api, alat transportasi yang masih menjadi favorit saya hingga saat ini, itu artinya saya harus berangkat dari stasiun. Stasiun Gambir, di tengah jakarta yang hiruk pikuk meskipun tidak sepadat jika lebaran tiba. Satu hal yang menggelitik, membuat saya bolak-balik harus berterima kasih pada kehadiran mereka, yang mengajarkan banyak hal bagi saya. Yaa ... mereka itu porter, pengangkut barang, kuli, atau semacam tukang panggul. Sebagian dari mereka, sudah terlalu sepuh untuk berlarian mengejar kereta yang masih setengah berlari menuju tempat berhenti. Karena waktu menentukan banyaknya kemungkinan untuk mendapat pelanggan, suatu resiko besar yang sangat miris dibandingkan dengan upah yang hanya berkisar 5000 – 20000 rupiah. Belum lagi sikap beberapa penumpang yang terkadang memperlakukan agak tidak sopan, barang-barang berat yang bergelayutan di kedua tangan, dan kedua kaki renta yang berkejaran di bawah sorot mata Tuan besar yang menanti tergesa. Miris, iya miris saya, persaingan semakin ketat karena tak setiap penumpang memerlukan jasa mereka, design tas semakin canggih dan memudahkan traveler untuk mengemas barang-barang mereka. Aaaah saya tahu, Tuhan pasti akan selalu memberi rizki bagi hamba-Nya, pasti itu, dan semoga mereka mendapat kemudahan dan keberkahan amin.