Hai ........... hai..........haiii.............
Selamat pagi temans

Kemarin ada hadiah dari seorang teman, sudi membuatkan saya rumah baru untuk sekedar berceloteh dan corat-coret apa yang sedang lewat di pikiran saya. Walhasil saya pun boyongan ke rumah baru, dan temans yukss main ke rumah baru saya hehehe

Love you All :)





Meski begitu kemarahan massa tidak surut. Sehingga Siami dan Widodo yang akan keluar ke ruang pertemuan harus dikawal ketat polisi dan koramil. Setelah melewati barisan massa, Siami dan Widodo langsung dimasukkan ke mobil patroli polisi.
Ketika membaca kalimat itu, tanpa melihat paragraph sebelumnya di detik.com, yang terlintas di pikiran saya adalah Ibu Siami dan Widodo ini mungkin adalah seorang terdakwa atas kejahatan tertentu. Miris bukan? Setelah saya  tahu bahwa perlakuan itu yang harus mereka terima karena mereka mengajarkan kejujuran untuk buah hati yang sedang belajar.
Entah sejak kapan, beberapa saat terakhir saya sering mengamati Sepupu atau Tante dan Om saya, yang memiliki anak masih duduk di bangku SD, SMP dan SMA, mulai kelimpungan ketika ujian tiba. Anak-anak seperti dicecoki dengan les yang tidak berakhir, mulai dari hari senin sampai jumat, bahkan terkadang sabtu pun masih harus berhadapan dengan guru les yang datang ke rumah atau mereka yang mendatangi lembaga pendidikan tertentu.
Serius bener ya judulnya
Ndak apa deh, biar sekali-kali blog abal-abal saya ini ada juga judul yang agak bikin hati gemetaran gitu ... seperti kaki kesemutan.
Jumat minggu yang lewat, saya pulang kantor jam 5 tepat, selain memang ada acara dengan beberapa orang teman, juga karena badan saya berasa greges-greges ndak tau kenapa, atau mungkin karena lapar, karena memang biasanya begitu bhihihi.

Akhirnya, ketika angkot jurusan pasar minggu datang, naiklah saya dengan tidak percuma. Di dalam angkot hanya ada 3 orang, satu bapak-bapak yang terkantuk-kantuk di pojok belakang sebelah kanan, satu mbak-mbak yang sedang sibuk bermain BB Torch merah keluaran terbaru dan satu lagi ibu-ibu yang sedang memandang lurus kedepan disamping pak Supir yang sedang bekerja.
Jakarta sore itu mendung menggelayut, angin sepoi-sepoi yang bertiup sedikit kencang dari sela-sela kaca jendela yang terbuka menerbangkan anak-anak rambut si mbak disebelah saya yang sedang sibuk memencet-mencet tuts handphone. 
Tak berapa lama, naiklah dua orang laki-laki berbeda umur dan penampilan, seorang masih berumur belasan (menurut perkiraan saya) dan seorang lagi yaa mungkin sekitar 25 tahunan dengan penampilan yang lebih rapi, menggunakan setelan celana bahan dan kemeja lengan panjang.
Baru saja angkot berjalan beberapa meter, si remaja belasan kejang-kejang, lalu seisi angkot mendadak riuh, pak sopir menepikan angkot, dan saya serta si mbak sebelah ikutan heboh memastikan si remaja ini turun dengan selamat, dan ternyata si pemuda satunya lagi yang lebih tua juga ikutan heboh memeriksa tas kami berdua, ketika pak sopir mengingatkan kami untuk memeriksa tas, benar saja handphone saya dan si mbak tadi sudah lenyap,  


Serius, saya sampai mencari arti cuek di Wikipedia, menggunakan jasa mbah google, dan hasilnya bisa disimak disini

Okay then, kenapa tiba-tiba saya pengen ngomongin tentang cuek? Begini ceritanya *elus jenggot* *jenggotnya pak raden* *emang punya*

Saya pernah berkonflik sebut saja Z, beberapa kali, tapi pada akhirnya saya mengalah dan mengatakan pada diri saya sendiri, itu prosesnya untuk berubah, temani saja dan dukung dia. Hingga pada suatu waktu saya merasa sangat tidak nyaman dengan tindakannya, saya pun akhirnya mulai menepikan diri dan tidak berusaha lagi untuk mengikuti alur hidupnya. Entah, apakah yang saya lakukan ini salah atau benar, pernah sekali waktu saya meminta pendapat teman saya yang saya pandang lebih mumpuni baik dalam ilmu psikologi maupun agamanya, saya menceritakan walaupun tidak secara gamblang konflik yang terjadi pada saya dan si Z ini, temen saya ini mengemukakan beberapa solusi yang kebetulan sebagian besar sudah saya coba, tapi toh hasilnya nihil.

Setelah itu, saya memutuskan untuk diam dalam artian sudahlah, apapun yang dilakukannya sepanjang tidak menyinggung keberadaan saya tidak akan saya hiraukan. 
 dari getty images

Setangkup sandwich yang masih menggigil di meja makan, sepi sendirian tanpa kopi yang senantiasa setia menemani.

Aku menyingkapkan tangkupan pertama, selembar keju dengan egois menutup selada yang akhirnya mengalah. Memberi hijau, meski hanya selarik tipis di tepian segi empat roti tawar tanpa kulit itu.

Dulu, ada tiga hal yang akan kutemui setiap pagi, ketika setangkup sandwich dan segelas kopi hangat telah tersaji di meja makan. Sepasang mata yang bersinar penuh semangat, setangkup pelukan hangat yang mengusir gundah dan sebuah kecupan hangat mendarat dikeningku yang basah.

 gambar dari google.com

Tidak ada sesuatu yang murni dan berjalan sendiri di atas dunia ini. Semuanya saling membutuhkan, berhubungan dan tolong menolong - putu wijaya

Seperti seorang anak kecil yang membutuhkan tangan ibundanya untuk belajar berjalan, pun sang bunda yang membutuhkan senyum si kecil untuk membuat hidupnya berarti. Keduanya saling membutuhkan, saling mengisi untuk membuat semua berjalan lebih baik.

Dalam dua minggu kedepan, kami  merencanakan untuk bersilaturahmi ke SLB Marsudi Putra  di Bantul, Yogyakarta. Beberapa dari kami berkesempatan untuk kembali mengunjungi Jogja, sekaligus berniat untuk berbagi dengan anak-anak manis yang berada di Sekolah Luar Biasa Marsudi Putra.
SLB Marsudi Putra berada di Wijirejo, Pandak, Bantul. Muridnya sekitar 120 anak, dan sebagian besar berkebutuhan khusus, seperti autis, tuna daksa dan tuna grahita. Anak-anak murid yang belajar di SLB rata-rata berasal dari daerah Wijirejo dan sekitarnya. Rasanya bahagia sekali membayangkan anak-anak spesial itu bersemangat mengikuti pelajaran demi pelajaran, bermain dan bercengkerama bersama teman-temannya, walaupun tidak selalu dalam keadaan yang seharusnya. Bukankah satu kebanggaan? Ketika bisa melihat mereka mandiri dan bisa membuat masa depan mereka lebih baik.


Mungkin satu hal yang patut saya syukuri pagi ini, ketika saya bisa mengendalikan amarah di pagi yang cerah dan semilir angin yang bertiup segar tsaaahhh …. Saya ini tergolong manusia dengan sumbu pendek, dipancing bentar langsung meledak. Baiklah saya ceritakan kronologi peristiwa “pisuhan” yang terjadi pagi tadi ketika saya berangkat ke kantor. 

Keluar dari jalan gang depan rumah, sambil sesekali melempar salam sama tetangga, minggir-minggir bentar begitu ada mobil tetangga yang lewat biar ga kesrimpet, berhubung gang di tempat saya itu pas banget dua mobil. Saya biasa menunggu angkutan umum di depan gang rumah saya, selagi saya menunggu, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya dengan bakul yang berisi sayuran segar menggunung, dengan tergesa menyeberang. Dan entah bagaimana, sebagian isi bakul itu jatuhlah berceceran di jalan, dengan wajah pias dan terburu si Ibu ini memunguti dagangannya, refleks saya menghampiri si Ibu kemudian memunguti untingan bayam dan kangkung yang terserak di jalan aspal itu, okay … karena insiden itulah, kendaraan di satu sisi dimana si ibu menumpahkan dagangannya terhenti sesaat, beberapa motor bisa menyelip dengan gesit, tapi tidak dengan mobil yang terpaksa harus menunggu kami berdua selesai memunguti dagangan kira-kira 5 menitan lah atau lebih mungkin, saya ga ngelirik jam karena emang ga bawa jam *dipenthung*.


Mungkin  reaksi saya terbilang agak telat, atau bahkan telat sekali, sebenarnya saya tidak terlalu perduli .. toh sinetron ini masih saja berkeliaran di jam-jam yang seharusnya saya menonton hiburan yang menarik untuk melepaskan penat di kantor dan mengiringi mata saya berangkat tidur.

Hal pertama yang saya syukuri adalah, mbak yang bertugas menemani saya di rumah sama sekali tidak menyukai sinetron ini, sepanjang pengetahuan saya, dia hanya menonton satu kali saja, karena penasaran dengan si mbak tetangga sebelah rumah yang sudah kecanduan dengan sinetron ini.

Dua minggu lalu, saya mudik.
Mudik bagi perantauan macam saya, itu seperti merecharge semangat baru, menghilangkan kepenatan dengan rutinitas untuk sekedar mengikuti arus kota solo yang pelan tapi menghanyutkan, halaaaah.
Setiap kali pulang kampung dan menggunakan kereta api, alat transportasi yang masih menjadi favorit saya hingga saat ini, itu artinya saya harus berangkat dari stasiun. Stasiun Gambir, di tengah jakarta yang hiruk pikuk meskipun tidak sepadat jika lebaran tiba. Satu hal yang menggelitik, membuat saya bolak-balik harus berterima kasih pada kehadiran mereka, yang mengajarkan banyak hal bagi saya. Yaa ... mereka itu porter, pengangkut barang, kuli, atau semacam tukang panggul. Sebagian dari mereka, sudah terlalu sepuh untuk berlarian mengejar kereta yang masih setengah berlari menuju tempat berhenti. Karena waktu menentukan banyaknya kemungkinan untuk mendapat pelanggan, suatu resiko besar yang sangat miris dibandingkan dengan upah yang hanya berkisar 5000 – 20000 rupiah. Belum lagi sikap beberapa penumpang yang terkadang memperlakukan agak tidak sopan, barang-barang berat yang bergelayutan di kedua tangan, dan kedua kaki renta yang berkejaran di bawah sorot mata Tuan besar yang menanti tergesa. Miris, iya miris saya, persaingan semakin ketat karena tak setiap penumpang memerlukan jasa mereka, design tas semakin canggih dan memudahkan traveler untuk mengemas barang-barang mereka. Aaaah saya tahu, Tuhan pasti akan selalu memberi rizki bagi hamba-Nya, pasti itu, dan semoga mereka mendapat kemudahan dan keberkahan amin.